Beranda · Belajar · Kontak · Privacy Policy

Rumah vs Bidadari : Siap atau Mau?



“Jal, Aku di bawah” bunyi sms itu memaksa Rijal turun dari singgasana empuknya.



“Ente tidur siang Jal?” Belum pun Rijal turun dari tangga Robi “Sori nih ganggu” Robi datang dengan wajah berpeluh, seperti telah melakukan perjalanan panjang.



“Ndak apa Bi” Keriput sisa bantal tidur siang masih membekas di wajahnya. “Tidur sebentar saja kok, Power Nap, Qailulah, sunnah Rasul SAW. Ayo bi masuk ke kamar ana, Panas-panas gini minum dulu sebentar sambil ngobrol kita”



“Tak usah Jal, aku cuma sebentar, ini ada amanah” Robi menyerahkan undangan walimah berlapis plastik bening dengan pita warna toska.



“Kamu Bi? Kamu nikah minggu depan?” Rijal terkaget, sekaligus senang, campur iri sedikit. “Masya Allah! Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja kamu ya, sunyi-senyap-sah!”



“Begitulah Jal, kalau sudah jodoh insya Allah dimudahkan” Robi menjaga betul kata-katanya, ia tahu benar kawannya yang dulu memotivasinya untuk segera menikah ini, belum pun dapat calon pendamping. “Aku pamit dulu Jal, masih banyak nih yang harus diantar”



“Hati-hati bro, hari besar mu udah dekat”



“Assalamu'alaykum Warahamtullahi Wabarakatuh”



“Wa'alaykumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh”



Rijal naik ke atas, kembali ke kamarnya yang berkelir hijau muda. Dibukanya kemasan undangan itu, dibacanya nama mempelai wanita calon pendamping hidup kawan baiknya: Mutiara Aisyah Zahra. Ara. Nama yang sedikit familiar sebab beberapa kali memang Robi menyampaikan ketertatikannya, hanya dulu belum berani apa-apa. Sisi sebelah kanan ada waktu dan tempat akad dan walimahan. Dipindahkannya data itu ke dalam telepon pintar miliknya, tanda harus mengosongkan waktu.



Dibungkusnya kembali selebaran cinta itu. Ditaruhnya ke dalam kotak mie instan yang bersamanya telah ada beberapa puluh undangan sejenis warna-warni cinta dari teman-temannya.



“Allah” Ditariknya nafas dalam-dalam “Giliranku kapan?” lirih keluar dari mulutnya bersama hembusan nafas penuh kegelisahan. Matanya memandang ke langit-langit, tapi tatapannya jauh menembus hingga ke langit.



*****



Sebenarnya Rijal belumlah tua, malah tergolong masih muda. Juni nanti ia baru akan menginjak umur 24 tahun. Bahkan kata orang-orang: “Belum lah Jal, idealnya laki-laki menikah umur 25”. Kalimat itu sedikit membesarkan hati Rijal yang tengah gulana. Ia yang masih 'belia' telah memutuskan untuk mau menikah sejak setahun lalu yang artinya di titik itu pencarian telah dimulai. Akan tetapi hingga saat ini belum pun ia punya pendamping.



Sebenarnya lagi, Rijal bukan tanpa usaha, enam bulan lalu ia penah melamar seorang wanita, tetapi orang tua sang gadis tak setuju, “Beda budaya” katanya. Pun tiga bulan lalu, justru orang tua Rijal yang tak setuju kala Rijal akan berta'aruf gadis sholihah lain, kali ini “Carilah yang seusiamu atau sedikit di bawahmu”. Ah, memang masih berat mencari gadis sholehah yang sudah siap menikah di bawah umur dua puluh tiga. Tapi begitulah, Rijal tak pernah berani melawan kekata orang tuanya.



Dua bulan terakhir bahkan sudah dua kali Rijal mengajukan diri kepada murabbi dua orang gadis kira-kira sesuai dengan kriteria orang tuanya. Dua-duanya tak diterima dengan alasan yang persis, “Maaf, tetapi minggu lalu sudah ada yang maju duluan”. Rijal terlambat.



Beberapa minggu ini memang beberapa teman menawarkan akhwat yang potensial untuk Rijal jadikan istri, semua Rijal pertimbangkan dengan istikharoh. tapi tak ada yang rasanya benar-benar mantap dan menancap. Ada yang sebab beberapa sifat yang tak disenanginya; ada yang sebab pergaulan sang akhwat yang tak cocok dengan gaya Rijal; ada yang karena, bagi Rijal tak cukup menyejukkan pandangannya; Bahkan ada pula yang karena gaya bicara salah satu akhwat yang terlalu berapi-api sebabkan Rijal takut sendiri.



“Allah” lirihnya lagi “Apakah aku yang terlalu pemilih? Apakah salah bila aku memilih?” Pertanyaan-pertanyaan itu mengaung di fikiran Rijal beberapa minggu belakangan.



Teringat kembali perkataan sang Rasul Pujaan Hati:

“Wanita dinikahi sebab empat perkara, karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, (atau) karena agamanya. Pilihlah yang beragama, maka kau akan beruntung, (jika tidak semoga kau) menjadi miskin.”



*****



“Kamu tuh sebenarnya cari yang kayak gimana sih Jal?” Lana, teman seperjuangannya yang telah lebih dulu menikah tadi sore datang, sebelum menikah dulu, Lana tinggal di kamar yang sama bersama Rijal. Lana pun sudah beberapa kali menawarkan Rijal untuk bertaaruf dengan teman-teman istrinya yang masih lajang. Tetapi selalu ditolak Rijal.



“Apa yang kamu cari dari seorang wanita?” Lana melanjutkan. “Kamu cari yang cantik? Jujur, Jal!”



“Menyejukkan pandangan” Jawab Rijal dalam.



“Ah, sama saja” Balas Lana “Percuma Jal!”



“Apanya yang percuma?” Rijal terheran “Bagiku menyejukkan pandagan biar aku tak zalim padanya dengan melirik-lirik yang lain setelah menikah nanti, toh menyejukkan pandangan tak mesti cantik yang terlalu, yang penting aku senang melihatnya.”



“Ya Percuma, semua wanita sama saja, jika menua kecantikannya akan luntur bersama waktu, dan tak menyejukkan pandanganmu lagi”

“Kalau kamu mencintai karena fisik, bagaimana kamu mencintai Allah yang tak nampak fisiknya?”



“Tidak, tidak.” Sanggah Rijal “Aku yakinkan bukan fisik yang buat aku jatuh hati dan jadi yakin akan menikahi seorang gadis, aku selalu tertarik pada kesederhanaan dan ketaatannya beribadah.”



“Jadi?



“Menyejukkan pandangan hanya sebagai pintu gerbang saja. Bisa saja ia tak terlalu cantik tapi kesholihahan nya terpancar dari wajahnya. Maka aku cari yang seperti itu, apa aku salah?”

"Ah, sama saja, Jal. Sangat relatif!"

"Iya, sih, hehe.." 

"Terus yang gimana lagi, Jal?"

"Yang sederhana mungkin, yang terbiasa hidup sederhana, biasanya yang kayak gitu orangnya penyabar dan ndak suka nuntut?"

"Tau dari mana kamu kalau dia sederhana?"

"Yaaa, pertama pasti dari penampilannya lah, yang nggak lebay 'hijabers' atau kayak mbak-mbak yang ngakunya 'hijab syar'i' tapi malah makin nunjukkin kecantikkannya"

"Mana bisa dijadikan patokkan, bro!"


"Yaaa, paling ndak, ndak bakalan ngomel-ngomel karena ana nanti gak bisa beliin dia make-up. Hehehe."


"Hahaha, iya juga sih. Untung istriku gak gitu, memang ia lebih tua dari ku, tapi justru itu yang bikin dia dewasa." Lana sengaja memanas-manasi Rijal. "Ah, jadi pengen cepet-cepet pulang"

"Waaah, gak berperi-ke-jomblo-an kamu Lan!" 

"Hahaha. Saran ku, cari tahu juga nanti sifat-sifatnya dan latar belakang keluarganya dari teman-teman atau guru ngajinya, kalau oke langsung hajar!"

"Enak aja main hajar-hajar, anak orang itu, woi!"


"Hahaha. Emang mau diapain lagi kalau udah ketemu, keburu diambil orang lho!"

"Eits, kan jodoh ndak kemana-mana, Lan?"

"Tapi saingan dimana-mana bro!" Lana memotong sambil terbahak.

"Bener juga sih, ya?"

"Hmmm. Menyejukkan Pandangan, sederhana, Penyabar, ndak suka nuntut. Ada lagi, Jal?"

"Udah kayaknya, sih?"

"Terus?"

"Terus apa?"   

“Terus? Kamu yakin kamu pantas untuk akhwat yang seperti itu?” Lana balik bertanya, kali ini lebih tajam “Atau, atau, kamu tuh benar-benar yakin sudah pantas menikah? Atau cuma pengen?”



Rijal terdiam, ia tak berani beradu tatap lagi dengan Lana. Pertanyaan Lana begitu menyayat, mengusik nurani paling dalam seorang Rijal. Ia tak berani menjawab. Sebab sejujurnya ia tak punya jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan itupun terus terngiang di benak Rijal sepanjang hari:

“Apa yang aku cari dari seorang wanita?”

“Apa aku memang pantas untuk akhwat seperti idamanku itu?”

“Apa aku memang pantas menikah?”

“Atau cuma ingin?”



“Ah, sudah lah, jal” Teguran Lana menyadarkan Rijal dari lamunannya “Kamu pikirkan saja dulu kata-kataku tadi”



“Iya Lan, makasih, pertanyaan-pertanyaanmu benar-benar nampar” Rijal Cengengesan.



“Ana balik dulu, dah malam kasihan istri sendiri” Lana berpamit sambil menyalami dan memeluk sahabat lamanya “Tapi ingat pesanku, jangan cari wanita yang sempurna, sebab kita pun jauh dari sempurna. Kalau kamu cari yang sempurna, yang terbaik ndak akan keliatan!”



Kalimat pamungkas Lana menutup hari.


Artikel keren lainnya: