Beranda · Belajar · Kontak · Privacy Policy

Pengingkaran Nikmat

Seorang anak manusia menangis merengek meminta belas kasihan. Sebuah malam dingin di tengah gurun pasir. Ia berada pada tempat yang tepat. Meletekkan diri pada titik paling rendah keegoisannya.
Kepalanya sejajar dengan ubin, tubuhnya tertungging lurus. Otaknya menerawang pada anak istrinya yang kelaparan. Tak tahu harus berbuat apa. Kala itu, berserah bukan pilihan, adalah sebuah keniscayaan. Keberserah-dirian penuh pada Sang Pencipta.

Pagi buta ia mengahadap utusanNya. Imannya berkata do'a Rasul mujarab. Tak membuang waktu ia bergegas ke kediaman sang Rasul.
"Rasul, aku ingin kaya, aku ingin bahagia, Jika nanti aku kaya, akan ku tunaikan semua kewajibanku"
awalnya Rasul menolak. Apa yang terjadi padanya sekarang adalah yang terbaik dari Sang Maha Tahu menurut Rasul.
Ia memelas dan memohon. Terketuk hati lembut sang Rasul. Rasul berdo'a. Tak lama ia kaya raya. Hingga semua orang yang tertakjub iri padanya“Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.

Waktu berlalu, ia telah melupakan semua janji masa lalunya, utusan Rasul datang menagih apa yang seharusnya ia keluarkan, tak pernah digubrisnya. Ia lupakan janjinya. Logikanya katakan bahwa semua sebab kerja keras dan kesuksesan metodenya yang telah bertahun. “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku” sombongnya.
Keberserah-dirian saat lemah hanya masa lalu, saat ini ia seperti punya pilihan untuk tak berserah. Berlimpah-limpah hartanya serta keberhasilan metode usahanya membuat ia lupa diri. Inilah pelajaran untuk kita, seluruh hartanya dan emas permata ditenggelamkan sekejap dalam bumi. Runtuh bersama segala pengingkaran nikmat Allah-nya.

Setidaknya ia ‘berjasa’, menjadi pelajaran berharga untuk umat di sisa zaman, pelajaran agar tak jadi lebih hina sebab harta. Namanya Qarun sang saudagar mahsyur, yang mengingkari, ummat yang pernah dido’akan Rasul-Nya, Musa AS. Allah abadikan kisahnya dalam surah Al-Qashash nomor ayat 76 sampai 82.


Maka, seperti kita yang perlu bukti, orang-orang yang dahulu tertakjub iri, akhirnya sadar diri:

وَأَصْبَحَ ٱلَّذِينَ تَمَنَّوْا۟ مَكَانَهُۥ بِٱلْأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ ٱللَّهَ يَبْسُطُ ٱلرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ وَيَقْدِرُ ۖ لَوْلَآ أَن مَّنَّ ٱللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا ۖ وَيْكَأَنَّهُۥ لَا يُفْلِحُ ٱلْكَٰفِرُونَ
Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu, berkata: "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)" (QS: Al-Qashash Ayat: 82)

Sejatinya, kita tak perlu dibenamkan dulu untuk paham bahwa berserah bukanlah pilihan.
Tak perlu ditenggelamkan dulu untuk syukuri semua adalah nikmatNya. Tak perlu ditimbun tanah dulu sebelum mengerti bahwa pengingkaran nikmat dan kesombongan akan datangkan kehancuran. Hancur sehancur-hancurnya.

Artikel keren lainnya: