Terik.
Matahari siang seperti sedang emosi, emosi yang meluap-luap. Akibatnya, awanan pun takut mendekat. Warna asli atmofer pun tampak: biru. Paling tidak sedikit menetralisir kuningnya sang raja hari yang begitu benderang kala itu.
Biru. langit. Aku memanggilnya Langit. Sebab pembawaanya yang tenang, sebab padanya seperti terdapat sinar yang terang. Dan ya, aku seperti tak mampu menggapainya. Ia bisa ku lihat jelas dari sini, tapi tak pernah kuasa kuhampiri. Menyedihkan, aku mulai mampu menikmatinya.
Sofa hitam empuk milik kampus, letaknya di sudut antara dua kaca berwarna kelabu, dua meter di depan pintu mushola kampus kami. Dari kursi ini aku selalu memperhatikannya. Hampir setiap hari, selepas sholat dhuhur, Langit selalu lewat sini. Ya, Langit memang sangat aktif di kegiatan mushola kampus kami, bahkan diantara para akhwat, Langit adalah mentornya, Langit pemimpinnya.
"Boleh tuh bro!" Wawan tiba-tiba sudah ada di sebelahku, "Pilih yang mana?" Katanya sambil menepuk pundak temannya.
"Apaan?" kataku terheran
"Aaah, aku tahu kamu memperhatikan akhwat-akhwat disana"
Daun pintu mushola tebuka, Langit keluar bersama teman-teman dekatnya. Anggun. Begitulah, penampilannya memang selalu anggun. Padu-padan jilbab lebar dan dress terusan yang juga lebar nya selalu harmoni, begitupun dengan warna yang Langit kenakan, ia seperti pandai memilih warna. Anggun tapi tetap sederhana pun syar'inya terjaga. Bagiku itulah penampilan paling sempurna seorang wanita. Kali ini Langit menggunakan biru muda, yang setahuku adalah warna kesukaannya, sungguh pas dengan warna cakrawala hari itu yang sedang cerah merona.
"Jadi?" Wawan membuyarkan lamunanku "Yang mana nih?"
"Eh" kataku terkejut
"Yang paling depan boleh juga tuh, aku tahu namanya dan kontaknya"
"Ndak, aku suka yang nomor dua, anggun" Langit dan teman-temannya berjalan seperti berbaris meskipun tidak rapi, sebab jalan di depan mushola berbentuk lorong, yang meskipun lebar tetapi karena ba'da zuhur masih banyak grup-grup mahasiswa atau mahasiswi duduk-duduk memenuhi lorong, jalan itu menjadi begitu sempit.
Aku teringat satu-satunya perkataan yang pernah ku dengar dari mulutnya langsung berbunyi "Rumah sakitnya penuh, kak" Kala itu aku tengah mengantar teman ku yang satu daerah dengannya ke rumah sakit, ia terkena tifus, dan Langit adalah satu-satunya teman yang rela mengurangi jatah bolos kuliah demi mencarikan teman yang sakit itu ruangan di rumah sakit, bahkan Langit telah menunggu kami sedari tadi di depan pintu rumah sakit. Sambil lalu, itulah pertamakali aku memperhatikannya, dan ia seksama memperhatikan kami yang didalam taksi berlalu meninggalkannya. Tatapannya seperti berkata, "Aku percayakan temanku padamu". Aku terkagum.
"Jadi tipe mu yang seperti itu tho"
Aku tersadar, sadar kalau omongan yang tadi terucap begitu spontan. Aku hanya bisa tersenyum.
"Hahahaha" Wawan tetiba tertawa. "Kamu bisa apa?"
Bisa apa? keningku berkerut.
Itulah pertanyaan yang begitu sulit kujawab. Itu juga sebab mengapa aku memanggilnya Langit. Tak mungkin kupacari dia. Mana mau wanita seperti itu dipacari, pasti Langit begitu menjaga kesuciannya. Apalagi, aku pun belum tahu bagaimana caranya mendekati perempuan, boro-boro pacaran.
Menikah, inilah sulitnya masa remaja tanggung zaman sekarang. Aku sama sekali tak mempersiapkannya, bagi lelaki tanggung di zaman sekarang sepertiku, menikah di usia muda seperti tabu. Jangankan memberi nafkah anak orang, diri sendiri saja masih jadi dhuafa yang dinafkahi orang tua. Karena memang kami tak pernah diajarkan untuk mempersiapkan pernikahan semenjak dini, apalagi bertindak untuk persiapan itu.
Aku sama sekali tak punya pilihan selain apa yang bisa aku lalukan sekarang. Memperhatikan dari jauh. Mengagumi, tanpa pernah sekalipun menyapa, meski sering kali berselisih jalan lalu bertukar senyum. Itulah maksimal hadiah darinya untukku. Senyuman Langit.
Langit berhenti di depan ku, membetulkan sepatu warna kremnya yang rupanya belum terpasang sempurna.
"Yang ini?" tanya wawan berbisik. Tak kujawab, aku sedang sibuk.
Aku sedang sibuk menampung berkah lewat mata. Hari ini berkahnya berupa bonus tiga detik lebih lama memperhatikannya. Selesainya, Langit tegak lagi, menoleh ke kiri, melihatku, lalu seuntai senyum khas tersimpul di bibirnya. Aku terdiam, lalu kemudian sadar harus membalas senyumannya. Aiih mak. Dua bonus hari ini.
Langit telah berlalu, hanya beberapa detik di depan mataku, tetapi aku masih saja memperhatikannya dari jauh. Jauh begitu jauh, hingga kibasan kerudung dan rok panjangnya tak lagi terlihat.
"Aku pun tak tahu" jawabku.
Wawan yang sedari tadi memperhatikan ekspresi wajahku lalu merangkul bahuku, seperti tengah berkata "Sabar ya bro"
Aku teringat perkataan guru ngajiku, "Kesalahan anak muda yang jatuh cinta adalah pengungkapan perasaan sebelum menghalalkannya. Sebab ianya seperti memupuk pohon duri. Ia tumbuh, tetapi hanya membuat luka hati."
Langit bagiku tetaplah langit. Begitu tinggi. Tak terfikir aku akan bisa sampai kesana. Padanya berkelip gemintang yang mengindahkan. Padanya terukir kalimat malam yang menenangkan. Kusimpan saja bulir senyumannya dalam memori, senyuman paling indah nomor dua setelah ibuku, paling tidak hingga saat ini. Senyuman Langit.
(99% fiksi, hanya paragraf 1 yang fakta)