Ratusan bulan lalu, sejak belum dapat membaca, buku adalah teman setia. Mungkin faktor ayah-mama yang guru berpengaruh sangat besar di minat itu. Terlebih, dahulu pun Ayah punya kios penyewaan buku di depan rumah lama, di Kota Singkawang. Isinya berbagai macam buku, mulai komik hingga ilmiah, mulai fiksi hingga fakta.
Sekira kelas 1 SD caturwulan kedua kami sekeluarga pindah, kios penyewaan buku telah bertahun-tahun sebelumnya ditutup, sebab tak terurus Ayah & Mama yang mengajar. Pontianak adalah destinasi selanjutnya, sebab orang tua pindah dinas ke ibukota provinsi. Dan saat itu saya belumlah pandai membaca. Baru lah satu cawu kemudian anak itu mengerti apa yang ia baca selama ini, sebab itu hampir-hampir saja ia tak naik kelas, peringkat terakhir boleh lah, naik ditendang.
Sejak dapat membaca, buku pun semakin jadi kesayangan, menggila. Apa saja. Apa saja dibaca, koran, majalah, komik, buku, apa saja. Bila stok baca habis, maka apa yang sudah dibaca tak masalah dibaca ulang. Hingga jadi anak rumahan sebab buku, entah mengerti atau tidak, yang penting bisa baca.
Dahulu, kesenangan buku bergenre komik beralih ke kekaguman akan astronomi, bintang gemintang yang memukau khayal anak usia tanggung. Ratusan buku bertema itu habis terlahap mata, mula dari yang isinya banyak gambar, hingga yang banyak tulisan.
Sesalnya, semenjak Sekolah Menengah Atas, waktu dunia baru 'terbuka', buku sejenak terpinggirkan. Sepok gaul.
Ah, buku memang seperti sahabat, tak pernah marah ketika tak diperhatikan, selalu menerima kapanpun kita kembali.
Masa kuliah adalah puber ke dua terhadap buku. Kali ini dengan ketertarikan berbeda. Ada dua. Pengembagan diri (motivasi) dan keagamaan. Ketertarikan akan keduanya akibatkan korban, perut adalah korbannya. Kala itu di Jakarta begitu banyak 'surga' hampir setiap Mall ada, terlebih Gr*media Matraman, toko buku terbesar di Ibukota. Terlebih juga setiap tahun ada Islamic Book Fair di Senayan, cocok: surga!.
Lapar mata lebih sering melanda daripada lapar perut.
Ah, berhenti sampai disana cerita saya. Allah ilhamkan saya ide!
Kita mungkin iri dengan para da'i yang pandai berbicara, menyebarkan ilmunya hingga jadi jariyah bagi pendengarnya.
Untuk kita pecinta buku, yang tak terkarunia kekuatan pada lisan, kita pun bisa dapat jariyah yang sama, mungkin bahkan lebih.
Buku anda, daripada teranggur dalam rak-rak atau kotak baca, daripada ilmunya terpendam di otak anda sendiri saja, baiknya diberikan (bila tak rela mungkin dipinjamkan saja) kepada mereka yang berpotensi menyebarluaskan ilmunya. Di sini insya Allah ada satu pahala, berbagi ilmu.
Heeeey, tak sampai di situ. Bila sang da'i menyampaikannya pada jamaahnya yang ramai, walau satu kata saja asal manfaat, makin berantai lah pahala yang mungkin kita terima. Begitu seterusnya, jariyah insya Allah sepanjang masa.