Seorang
anak manusia menangis merengek meminta belas kasihan. Sebuah malam
dingin di tengah gurun pasir. Ia berada pada tempat yang tepat.
Meletekkan diri pada titik paling rendah keegoisannya.
Kepalanya
sejajar dengan ubin, tubuhnya tertungging lurus. Otaknya menerawang
pada anak istrinya yang kelaparan. Tak tahu harus berbuat apa. Kala
itu, berserah bukan pilihan, adalah sebuah keniscayaan.
Keberserah-dirian penuh pada Sang Pencipta.
Pagi
buta ia mengahadap utusanNya. Imannya berkata do'a Rasul mujarab. Tak
membuang waktu ia bergegas ke kediaman sang Rasul.
"Rasul,
aku ingin kaya, aku ingin bahagia, Jika nanti aku kaya, akan ku
tunaikan semua kewajibanku"
awalnya Rasul
menolak. Apa yang terjadi padanya sekarang adalah yang terbaik dari
Sang Maha Tahu menurut Rasul.
Ia
memelas dan memohon. Terketuk hati lembut sang Rasul. Rasul berdo'a.
Tak lama ia kaya raya. Hingga semua orang yang tertakjub iri padanya“Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan
kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang
besar”.
Waktu
berlalu, ia telah melupakan semua janji masa lalunya, utusan Rasul
datang menagih apa yang seharusnya ia keluarkan, tak pernah
digubrisnya. Ia lupakan janjinya. Logikanya katakan bahwa semua sebab
kerja keras dan kesuksesan metodenya yang telah bertahun.
“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada
padaku” sombongnya.
Keberserah-dirian
saat lemah hanya masa lalu, saat ini ia seperti punya pilihan untuk
tak berserah. Berlimpah-limpah hartanya serta keberhasilan metode
usahanya membuat ia lupa diri. Inilah pelajaran untuk kita, seluruh
hartanya dan emas permata ditenggelamkan sekejap dalam bumi. Runtuh
bersama segala pengingkaran nikmat Allah-nya.
Setidaknya
ia ‘berjasa’, menjadi pelajaran berharga untuk umat di sisa
zaman, pelajaran agar tak jadi lebih hina sebab harta. Namanya Qarun sang saudagar mahsyur, yang mengingkari, ummat yang pernah
dido’akan Rasul-Nya, Musa AS. Allah abadikan kisahnya dalam surah Al-Qashash nomor ayat 76 sampai 82.
Maka, seperti kita yang perlu bukti, orang-orang yang dahulu tertakjub iri, akhirnya sadar diri:
وَأَصْبَحَ ٱلَّذِينَ تَمَنَّوْا۟ مَكَانَهُۥ بِٱلْأَمْسِ يَقُولُونَ
وَيْكَأَنَّ ٱللَّهَ يَبْسُطُ ٱلرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ
وَيَقْدِرُ ۖ لَوْلَآ أَن مَّنَّ ٱللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا ۖ
وَيْكَأَنَّهُۥ لَا يُفْلِحُ ٱلْكَٰفِرُونَ
Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun
itu, berkata: "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang
Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah
tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah
membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang
yang mengingkari (nikmat Allah)" (QS: Al-Qashash Ayat: 82)
Sejatinya,
kita tak perlu dibenamkan dulu untuk paham bahwa berserah bukanlah
pilihan.
Tak
perlu ditenggelamkan dulu untuk syukuri semua adalah nikmatNya. Tak
perlu ditimbun tanah dulu sebelum mengerti bahwa pengingkaran nikmat
dan kesombongan akan datangkan kehancuran. Hancur sehancur-hancurnya.
Artikel keren lainnya: