Bismillahirahmanirahim.
Sore-sore kemarin angin semakin berhembus semakin kencang. Langit yang tadinya biru pun sekarang sudah jadi abu-abu. Sementara burung-burung yang sedari siang mencari makan berterbangan mulai kembali ke sarangnya. Adalah dedaunan coklat yang gugur lalu tertiup angin yang semakin kencang. Menyisakan buah-buah jambu air yang menggantung dan tampak ranum tetapi tak manis karena terlalu banyak kandungan air. Jambu-jambu itu lebih enak dibuat manisan daripada dimakan langsung.
Hari-hari seperti ini, awalan musim hujan, sungguh sulit mencari makan untuk anak-anak cupang yang baru berumur 1 minggu. Makanannya adalah kutu air, spesifiknya anak kutu air. Teman ku pernah bilang: ambil ember, isi pakai air hujan, lalu isi daun pisang, nanti akan tumbuh kutu air. Dan semua ku lakukan. 1 hari, 2 hari, 3 hari. tak ada titik-titik kecil di air tanda kehadiran sang kutu. Ah, aku sudah hampir mengikhlaskan anak-anak cupang itu mati sebelum dewasa.
Sekitar 2 minggu lalu, iseng-iseng ingin nostalgia masa kecil, aku bersama temanku, berdua saja, turun ke tanah kosong di samping dan depan rumahnya. Misi kami hari itu: Nanggok Selomang (Mencari Ikan Cupang). Selomang adalah sebutan bagi ikan cupang di daerah kami, Pontianak.
Ketika mentari sepeninggian buluh, aku dan dia mulai turun. Berbekal keranjang untuk mencuci sayur, kami mulai menelusuri parit-parit kecil di sekitar situ, terus hingga semak-semak kami obrak-abrik tanpa belas kasihan.
Sebelum adzan zuhur kami berhenti, tak mampu melawan terik matahari yang hari itu sedang ceria. Ditambah fisik kami yang belakangan jarang olahraga plus sering begadang. Hasil hari itu 4 ekor cupang alam ABG. Alhamdulillah.
Sejujurnya kami kurang puas, karena jauh panggang dari api dari hasil yang diharapkan. Kami berharap dapat cupang dewasa dan banyak jumlahnya. Untuk melampiaskannya kami berdua pergi ke pasar membeli cupang. Akhirnya, haha..
Sepasang Cupang dewasa berwarna putih kami beli, niatnya untuk dikawinkan, mungkin saja nantinya akan beranak-pinak dan bisa dijual.
Sepasang cupang itu kami tempatkan di baskom spesial, sementara 4 ekor cupang ABG ditempatkan bersamaan dalam satu ember plastik yang sudah pecah setengah. Mereka kami anak tirikan.
Katanya, cupang kawin akan membuat busa dan memakan waktu 1-2 hari plus waktu PDKT 1 hari, nah pada saat PDKT ini lah sang cupang jantan yang tertarik pada cupang betina akan membuat busa untuk menyimpan telur-telurnya.
Esoknya kami lihat lagi, tak ada tanda-tanda busa. Hari ke 2 tetap saja tak ada perubahan. Mungkin mereka tak berjodoh. Kesimpulan ku saat itu: Cupang tak mau kawin dengan pasangan yang bukan pilihannya. Tak jodoh pun jika dipaksakan tak akan bisa. Aiih. Cupang juga manusia. *eh
Tak disangka tak dinyana, iseng-iseng melihat ke dalam ember hitam tua tempat meletakkan cupang-cupang alam yang bahkan selama ini tak kami perhatikan: banyak busa! telah terjadi perkawinan "terlarang" disana! Cupang-cupang ABG itu yang malah sudah duluan kawin. Ah, jodoh memang tak ternah terduga, ia bisa hinggap di tempat yang paling hina sekalipun. Sang cupang muda sudah menemukan tulang-rusuknya. Meskipun ini dalam skala cupang.
Jadilah ember hitam tua setengah pecah itu yang sekarang kami sayang. Tempat anak-anak cupang kami yang pertama menetas, lalu berkeliaran. Lazimnya anak-anak yang masih nakal, begitu menetas mereka menyebark ke pelosok ember. Membuat sang ayah kerepotan berburu anak-anaknya yang belum terlalu pandai berenang. Awalnya pun aku kira sang ayah memakan anaknya. Ternyata hanya dikulum untuk dikembalikan lagi ke busa-busa yang jadi pelampung buat mereka belajar berenang.
Aku pun tertular kasih sayang itu, aku merasa memiliki mereka, tambahlah lagi 1 aktivitasku: memberi makan cupang. Mereka tak akan aku sia-siakan. Ah.
Jadi kamu tenang saja, pada cupang pun aku bertanggung jawab, apalah lagi pada mu dan anak-anakku nanti? Aihmaaak. haha..
Ada satu yang menarik, setiap di senter ke ember atau di beri makan, sang induk terlihat bergerak kesana-kemari, bukan panik, tapi lebih seperti awas dan sigap dengan keadaan yang mengancam. Sungguh ganteng sang ayah cupang ini. Macho!
Ada lagi yang menarik. Sekarang sudah 10 hari umur anak-anaknya. Air di ember tak pernah kami ganti agar anak-anaknya tak terbuang. Tentu kualitas air menurun.
Sang ayah membuat busa-busa lagi! bukan untuk kawin, tapi mengumpulkan kotoran-kotoran di permukaan air, sang ayahnya yang membersihkan air, agar anak-anaknya tetap sehat!
Kasih sayang cupang yang mengharukan. Oke, lebay.
Masih ingat tempat kutu air yang gagal tadi..? ternyata dari sana banyak tumbuh jentik-jentik, makanan cupang juga. Memang rezeki gak kemana. Rezeki cupang pun sudah ditentukan.
Tetapi paling tidak aku belajar dari balada cupang dan ember tua tentang jodoh, tentang kasih sayang orang tua, tentang tanggung jawab memiliki, tentang kepastian rezeki. Dari makhluk yang tak lebih besar dari jari kelingking-ku. *usapairmata
Semoga Bermanfaat.
Belum ada tanggapan untuk "Cupang"
Post a Comment